Translate Jurnal World Society of Victimology 2


Review Simposium Internasional Dunia Viktimologi ke 9 “Kepedulian terhadap Korban”

Otmar Hagemann (diterjemahkan oleh; Aliyth Prakarsa)


Pada tanggal 26-29 Agustus 1998, lebih dari 600 peserta dari 67 negara bertemu di Amsterdam untuk membahas penelitian korban Deklarasi Hak Korban; Upaya dalam Pemberian Dukungan bagi Korban dan Penyalahgunaan Kekuasan dan Kejahatan Perang (Victim Bill of Right Trends in Victim Support and Abuse of Power & War Crimes) . Jumlah peserta ini menunjukkan pertumbuhan kepentingan dari viktimologi sebagaimana telah diungkapkan oleh Jan van Dijk dalam sambutan pembukaan. Setiap harinya dipaparkan oleh dua atau tiga pembicara berdasarkan topic masing-masing.


Topic yang paling controversial adalah dukungan korban yang dipaparkan oleh Marlene Young dan Azzart Fattah. Marlene Young memperdebatkan untuk kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang yang telah dipersiapkan dengan baik. Dia memperluas jangkauan dari korban-korban melalui pengarahan perhatian kita menuju viktimisasi yang tidak dikehendaki dalam kehidupan keseharian dan kearaha korban-korban structural dari pelaparan, kesepian, pengangguran, gelandangan, dll, sebagai contoh kecilnya. Dia menyebutnya sebagai pengantar aturan kepedulian universal (introduction of a universal code of care), yang mengijinkan untuk pelatihan sistematik terhadap staff tetap-tidak tetap, akuntabel, lebih efektif dan akan menuju pada standar lebih tinggi dari pendampingan korban sama baiknya sebagaimana meraih jumlah yang lebih besar dalam pelayanan terhadap korban.


Aturan kepedulian harus membuat laporan bahwa pengalaman traumatis berbeda dalam konteks budaya yang berbeda. Dalam perbedaan mencolok yang ditekankan oleh Young, Fattah mengaku bahwa pergerakan pendampingan korban telah dipecundangi oleh politisi. Hanya yang paling miskin dari yang miskin yang akan mendapatkan formulir bantuan. Dia memperdebatkan bahwa asuransi kejahatan umum sangat dibutuhkan. Lebih jauh lagi dia menegaskan ”konsekuensi-konsekuensi bencana potensial dari melakukan kebaikan” (potentially disastrous consequences of doing good). Para korban akan berada pada situasi ”kerugian” (no-win), terutama anak-anak korban kekerasan. Konseling tidak dapat mengurangi trauma. Sebaliknya, intervensi, ketika tidak dilaksanakan dengan baik, dapat memperluas proses penggandaan. Dikarenakan korban merupakan mangsa lemah dari pemangsa, penyalah diri pribadi dapat menjadi fungsi penyembuhan dan dapat menjadi alat yng produktif untuk pemulihan dari trauma tanpa bantuan ahli.


Beberapa nara sumber memusatkan perhatian dalam perbaikan hukum, termasuk mediasi, restitusi dan konsep baru prosedur keadilan. Paradigma ini dibahas oleh Elmar Weitekamp dalam bidang sudut pandangan etnologi. Dalam rangka menghargai kedamaian sosial, Perkumpulan kita dapat belajar dari Perkumpulan primitif. Pengantar ”Konferensi keluarga-grup” (family-group-conferences) pada 1989 di New Zealand yang diperkenalkan oleh Weitekamp (dan juga Leslie Sebba) sebagai langkah awal dalam tujuan ini. Pernaikan keadilan berarti mengembalikan konflik kepada Perkumpulan yang memilikinya. Partisipan dapat mempelajari mengenai bentuk laporan ini pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Committee) di Afrika Selatan, yang umumnya memfokuskan pada kehidupan bersama di masa depan, jadi sangat berbeda dari Pengadilan Pidan Internasional terhadap Bekas Republik Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Republic of Yugoslavia) di Den Haag.


Namun pendekatan retributif ini dilihat oleh Zvonimir P. Separovic sebagai langkah positif menuju pembentukkan institusi keadilan global yang permanent. Dia mengatakan bahwa perang adalah hal terburuk dari semua bentuk penjajahan manusia. Kontribusi khusus dari Partisipan asal Afrika Selatan yang mempedulikan pengantar konsep pemberdayaan (the introduction of the concept of empowerment). Hal ini terkait kepada individu korban begitu juga kepada Perkumpulan. Sebba, menyatakan juga bahwa hal tersebut dapat lebih manusiawi untuk memberdayakan posisi para korban daripada meminta jaminan hukum jauh dari sisi pelaku.


Dia meminta pendekatan “perbaikan keadilan” (a "restorative justice" approach) dengan pertanggunggjawaban pada tingkat Perkumpulan. Ini berate orang terdekat (dalam komunitas global berarti siapa saja) tidak lagi diijinkan untuk menolak pertanggungjawaban mereka. Permasalahan serius dalam hal prosedur mediasi adalah ketidak hadiran pembuktian kesalahan. Hal ini dapat diatasi dengan prosedur hukum perdata Belanda kuno yang disebut dengan “dading”. Hal ini berarti bahwa mereka dapat bekerjasama untuk mengatasi konflik, jika para pihak dapat menghasilkan sebuah perjanjian, dengan mendasarkan perjanjian mereka dalam kontrak perdata (dengan kata lain harapan pakar abolisi Nils Christie).


Pemikiran-pemikiran ini sesuai dengan pemikiran Marc Groenhuijsen yang telah berukutat dengan pertanyaan dari perkenalan hak-hak korban dalam prosedur-prosedur peradilan pidana. Berdasarkan analisis-ulang dari penerapan penelitian oleh United Nations Bureau di Vienna tahun 1995 dia memberikan peringatan melawan “pemikiran populer yang keliru” (popular fallacy). Dalam pandangannya, adalah keliru bahwa posisi korban akan meningkat jika terdapat banyak hak yang bermunculan. Segala sesuatunya dapat menghalangi peradilan yang jujur melawan pelaku sama baiknya dengan modifikasi prosedur peradilan pidana kedalam hubungan tiga pihak adalah harus ditolak.


Bukti empiris dari pandangan-pandangannya dapat dilihat dalam perbandingan internasional implementasi dari beberapa hak-hak korban oleh Marion Brienen dan Ernestine Hoegen. “HateCrime” sepertinya menjadi kategori teori baru. Istilah ini menggambarkan viktimisasi tertentu terhadap minoritas atau kelompok marginal dalam Perkumpulan dalam tingkatan individual (contoh; gelandangan, homoseksual, pburuh migran) atau kelompok etnis berbeda atau musuh politis dalam tingkatan makro (contoh: dalam hal penyelewengan kekuasaan / kejahatan perang). Sebagaimana ditunjukkan oleh Tiby dan Tomsen, hal ini sangat sulit dalam kasus pemberian bukti empiris untuk menerapkan teori ini, karena pelaku individu terkadang tidak mengetahui atau tidak mengatakan motif sesungguhnya atau membentuk mereka setelahnya.


Konsep tradisional dan instrument-instrumennya juga memunculkan masukan baru. Jan Van Dijk menyimpulkan dari pencarian dalam Survey Korban Kejahatan Internasional, International Crime Victims Survey (ICVS) bahwa viktimisasi tidak lagi dapat ditangani sebagai kejadian langka. Melalui Survey Korban kita dapat mengetahui bahwa kejahatan secara umum menurun, terutama kekerasan. Wesley Skogan menyebut korban-korban komersial dan sekolah sebagai area-area permasalahan. Dia memfokuskan dalam pengulangan viktimisasi dan menegaskan viktimisasi dalam area-area kejahatan tingkat tinggi tidaklah tersebar secara merata. Di Amerika Serikat terdapat program-program tanpa pencegahan bagi Perkumpulan miskin. Pembahasan mengenai hubungan antara negara dengan penduduk memuncul bahwa semakin banyak penduduk menghubungi polisi dan agensi penuntut, semakin tinggi menunjukkan ketidak puasan mereka.


Agensi-agensi pendukung korban hadir dalam hubungan dengan korban kurang dari 1%. Lebih jauh lagi dia menekankan pentingnya dari sebuah teori dalam prosedur keadilan dan merujuk kepada teori empirik dari Wemmers. Korban tidak menginginkan unutk mempengaruhi hasilnya tetapi ingin menjadi bagian dalam proses judisial dan menginginkan adanya suara. Terdapat lintas pembahasan dalam beberapa topik tradisional, menambahkan beberapa bagian dari keseluruhan rangkaian dari viktimologi yang telah dikembangkan selama dekade terakhir ini. Contohnya adalah; survey-survey korban dalam beberapa negara yang sebelumnya tidak aktif dalam bidang ini, kategori khusus dari viktimisasi, seperti kekerasan domestik dan pencurian, akibat-akibat dari viktimisasi seperti Penyakit Menular Seksual (PMS), ketakutan terhadap kejahatan dan keseluruhan subjek dari pencegahan kejahatan.


Dalam menghormati ini Manuel Lopez menunjukkan hubungan dekat antara pertanyaan viktimologis dan ekonomis dan memperkenalkan konsep ”manajemen kualitas total” (total quality management) dalam symposium ini. Pada akhirnya kita harus melihat kepada subjek yang menjadi fokus hari terakhir dalam symposium: penyelewengan kekuasaan dan kejahatan perang. Menurut saya bidang ini terlihat tidak berkembang. Tingkat konseptual toeri terlihat seperti tetap cukup rendah. Maria de la Luz Lima mengidentifikasikan beberapa bidang mengenai area ini tetapi hal ini tidak terintregasi dengan baik dalam teori. Kita tetap berada di tingkat perkembangan tipologi-tipologi deskriptif murni. Langkah berikutnya akan menunjukkan bagaimana bidang-bidang ini saling berhubungan dan bagaimana mereka dapat saling berhubungan dengan viktimologi dalam tingkatan individual. Istilah korban struktural kemungkinan dapat menolong dalam hal ini. Sebagai kesimpulan subjektif pribadi saya akan menekankan pada cabang keilmuan yang sangat besar dalam beberapa bidang-bidang pada tingkatan mikro, tetapi dalam waktu yang bersamaan terhadap pengurangan secara besar dalam tingkatan teoritik yang lebih luas. Meskipun kesuksesan besar dalam wilayah kebijakan pidana – inisiatif terbaruu dalam tingkatan PBB dan pemikiran dalam sebuah manual aplikasi praktis dari pengetahuan viktimologis berhak untuk diapresisikan, hal ini, dalam pemikiran saya, masih tetap dipertanyakan apakah viktimologi akan memerlukan status keilmuan.

Editors: The Editorial Board Jo-Anne Wemmers, Gerd Ferdinand Kirchhoff, Rika Snyman, Elmar Weitekamp

Review of the 9th International World Symposium on Victimology "Caring for Victims"
Otmar Hagemann

From August 26 to 29 more than 600 participants from 67 countries met in Amsterdam to discuss Victim Surveys Victim Bill of Rights Trends in Victim Support and Abuse of Power & War Crimes. These numbers reflect the growing importance of victimology as Jan van Dijk stated in his opening remarks. Each day was introduced by two or three keynote speeches on the above mentioned themes.

The most controversial topic was victim support in which keynote speeches were presented by Marlene Young and Ezzat Fattah. Marlene Young argued for improvements in an already well prepared field. She extended the range of victims by directing our attention towards unintended victimizations in everyday life and towards "structural" victims of famine, loneliness, unemployment, homelessness etc. to name just a few examples. She called for an introduction of a universal code of care, which allows for systematic training of paid and unpaid staff, accountability, more effectiveness and will lead to a higher standard of victim assistance as well as reaching a greater number of victims with the services.

The code of care must take into account that traumatic experiences differ within different cultural contexts. In sharp contrast to the position outlined by Young, Fattah claimed that the victim assistance movement has been cheated by politicians. Only the poorest of the poor will get any form of help. He argued that a general crime-insurance is needed. Furthermore he emphasized the "potentially disastrous consequences of doing good". Victims find themselves in a "no-win" situation, especially abused children. Counselling cannot reduce trauma. On the contrary, intervention, when not done properly, can extend coping processes. Since the victim is no innocent prey of predators, self blame can have healing functions and can be a productive means to recover from trauma without professional help.

Several speakers focused on restorative justice, including mediation, restitution and new concepts of procedural justice. This paradigm was discussed mainly by Elmar Weitekamp in a framework of ethnological perspectives. In respect to restore social peace, our societies can learn from the so-called primitive societies. The introduction of „family-group-conferences" in 1989 in New Zealand was interpreted by him (and also by Leslie Sebba) as a first step in this direction. Restorative justice means to give back the conflicts to the people who own them. Participants could learn about this from a report on the Truth and Reconciliation Committee in South Africa, which focuses mainly on living together in the future, thus totally different from the International Criminal Tribunal for the Former Republic of Yugoslavia in The Hague.

This retributive approach was nonetheless, seen by Zvonimir P. Separovic as a positive step towards the establishment of permanent global justice institutions. He spoke of war as the worst of all human inventions. A special contribution from South African participants concerned the introduction of the concept of empowerment. This was related to individual victims as well as to communities. Sebba, too, stated that it would be more humane to empower the victims position than to take legal guarantees away from the offenders side.

He plead for a "restorative justice" approach with responsibility on a community level. This means that bystanders (- in our global village this will be everyone -) are no longer allowed to deny their responsibility. A serious problem concerning mediation procedures is the absence of proof of guilt. This can be overcome by an old Dutch civil law procedure called "dading". This means that the parties can work together to solve the conflict and, if parties are able to come to an agreement, they can base their agreement in a civil contract (in other words the old abolitionist dream of Nils Christie).

Most of these ideas are compatible with the reflections of Marc Groenhuijsen who dealt with the question of introducing victims rights in criminal justice procedures. Based on a re-analysis of an implementation research by United Nations Bureau in Vienna 1995 he warned against a "popular fallacy". In his view, it is not true that the position of the victim will improve then there are more rights in existence. Everything which could inhibit a fair trial against offenders as well as the modification of the criminal justice procedure into a three-party-affair is to be refused.

Empirical evidence for his views are found in the international comparison of the implementation of certain victim rights by Marion Brienen and Ernestine Hoegen. „Hate crime" seems to be a new theoretical category. This term describes certain victimizations of minorities or marginal groups of the society on the individual level (e.g. homeless people, homosexuals, foreign workers) or different ethnic groups or political enemies on macro level (e.g. in the context of abuse of power / war crimes). As both Tiby and Tomsen pointed out, it is very difficult in a given empirical case to apply this term, because individual offenders often do not know or do not talk about their real motives or even construct them afterwards.

The traditional concepts and instruments also revealed new insights. Jan van Dijk concluded from findings of the International Crime Victims Survey (ICVS) that victimizations could no longer been treated as rare events. From Victim Surveys we know that crime decreases in general, especially violence. Wesley Skogan named commercial victims and schools as problem areas. He focuses on repeated victimizations and underlined that victimization in high crime areas is not evenly distributed. In the USA there exist no prevention programmes for the poor. The discussion of the relationship between the state and the citizens revealed that the more contacts people have with the police and prosecution agencies, the more they express discontent.

Victim support agencies come in contact with less than 1% of the victims. Furthermore he stressed the importance of a theory on procedural justice and refers to the recent empirical work of Wemmers. Victims do not want to influence the outcome but will take part in the judicial process and will have a voice. There were broad discussions on various traditional topics, adding some new pieces to the whole puzzle of victimology which has been developed throughout the last decades. Examples are: the victim surveys in several countries which had not been active in this field before, the special categories of victimization, like domestic violence and burglary, the consequences of victimization such as PTSD, fear of crime and the whole subject of crime prevention.

In this respect Manuel Lopez demonstrated the close tie between victimological and economic questions and introduced the concept of "total quality management" to the symposium. Finally we should look at the subject which was the focus of last day of the symposium: abuse of power and war crimes. To me this field seems to be underdeveloped. The level of theoretical conceptualisation seems to be quite low still. Maria de la Luz Lima identified some fields within this area but these are not well integrated in a theory. We are still at the level of developing purely descriptive typologies. The next step will be to show how these fields are interrelated and how they could be related to victimology on an individual level. The term structural victims could probably be helpful in this respect. As a subjective personal conclusion I would like to point to an enormous body of knowledge in some particular fields on the micro level, but at the same time to great deficits on a wider theoretical level. Despite great success in the area of criminal policy - the recent initiative on United Nations level and the work on a manual for practical application of victimological knowledge deserve appreciation - it is, in my view, still questionable whether victimology will acquire the status of a science.

Editors: The Editorial Board Jo-Anne Wemmers, Gerd Ferdinand Kirchhoff, Rika Snyman, Elmar Weitekamp

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Pengganti Pre/Post Test 1

Translate Jurnal World Society of Victimology 3

URGENSI PENERAPAN MATA KULIAH VIKTIMOLOGI