MPR Setelah Amandemen UUD 1945


9 Juni 2009


bahan dari http://www.mpr.go.id/index.php?m=berita&s=detail&id_berita=906



Tujuan dari perubahan UUD 1945 adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, kesejahteraan sosial, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.

Tujuan dari perubahan UUD 1945 adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, kesejahteraan sosial, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.

Demikian diungkapkan AM. Fatwa, Wakil Ketua MPR RI saat berdialog bersama M. Rizal, Kepala Biro Hubungan Masyarakat MPR dan Mutamminul’ula, anggota Tim Sosialisasi Putusan MPR RI di TVRI Jakarta. Acara yang disiarkan secara langsung pada akhir Maret 2009 dengan tema “MPR” diselenggarakan atas kerjasama TVRI Jakarta dengan Sekretariat Jenderal MPR RI.

“Salah satu tuntutan reformasi tahun 1998 adalah dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan reformasi tersebut menginginkan adanya perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia) terlalu besar dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat, “ ungkap Fatwa.

Penyebab kekuasaan yang sangat besar di tangan Presiden karena adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" sehingga dapat menimbulkan multitafsir. Kenyataannya, rumusan UUD 1945 yang memuat semangat penyelenggara negara belum cukup didukung oleh konstitusi. Akibatnya, praktik ketatanegaraan tidak sesuai dengan jiwa Pembukaan UUD 1945, karena pengaturan lembaga Negara juga dilakukan oleh Presiden melalui pengajuan UU.

Namun, perubahan UUD 1945 mempunyai kesepakatan dasar diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, dan tetap mempertahankan susunan kenegaraan kesatuan atau selanjutnya dikenal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

Selain itu, penjelasan UUD 1945 memuat hal-hal yang normatif yang akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh) dan perubahan tersebut dilakukan dengan cara “addendum”.

Namun, seiring dengan perubahan UUD 1945, ada banyak hal yang penting terjadi. Salah satu perubahan Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Setelah perubahan Pasal 1 ayat (2) itu kemudian berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.

Ternyata perubahan tersebut membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas dan wewenang MPR, sehingga kegiatan MPR sekarang hanya mengubah dan menetapkan UUD 1945, melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum, memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya, melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.

Selain itu, MPR mempunyai tugas memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya. Dan saat ini, menurut UU Susduk yang berlaku, salah satu kegiatan MPR adalah mensosialisasikan atau memasyarakatkan putusan-putusan MPR setelah terjadi perubahan.

Sementara Mutamminul’ula menjelaskan seputar kedudukan MPR. Dahulu, sebelum ada perubahan UUD 1945, kedudukan MPR berdasarkan UUD 1945 merupakan lembaga tertinggi negara dan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Artinya, kekuasaan dilakukan sepenuhnya oleh MPR sehingga tidak terjadi check and balances.

Setelah perbuhan UUD, MPR juga tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan GBHN dan tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR), kecuali berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Hal ini berimplikasi pada materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR yang telah dihasilkan sejak tahun 1960 sampai tahun 2002. “Yang patut diketahui saat ini Ketetapan MPR (TAP MPR) tidak lagi menjadi bagian dari hierarkhi Peraturan Perundang-undangan, “ jelas Mutammimul ‘Ula.

“Pada kenyataannya, perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. Kini, MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK, “ jelasnya.

Kepala Biro Humas Setjen MPR RI (Muhammad Rizal, S.H., M.Si., Telp: 021-5789 5049, Email: humas@mpr.go.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Pengganti Pre/Post Test 1

Translate Jurnal World Society of Victimology 3

Amerika, Eropa dan Zionis; Mustahil Menerapkan Keadilan Global